Oleh: Siti Khadijah Ibrahim (Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif HIdayatullah Jakarta)
Agama adalah pedoman terdepan
dalam kehidupan manusia. Teks dan kontensnya berisi nilai dan norma suci yang
menjelaskan, mendidik, membimbing dan melindungi alam semesta sebagai tempat
pengembaraan makhluk singgah di masa fana (dunia) menuju masa keabadian
(akhirat) di bawah kehendak kasih sayang dan keadilan Khalik. Agama dimaksud dalam tulisan ini ialah Agama
Islam.
Agama Islam berupa wahyu dari
Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT yang terdiri
dari Al-Quran dan Hadits, berisikan dalil-dalil mendasar tentang dunia makhluk
secara lengkap dan sistem yang utuh dilengkapi dengan dunia khalik serta hubungan keduanya. Kekokohan hubungan
ini menentukan keselamatan makhluk di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya Agama
Islam dinyatakan sebagai rahmat bagi seluruh alam “Islam rahmatan lil ‘alamiin”.
Dengan memperhatikan Agama Islam
itu sebagai wahyu, esensinya dapat dikategorisasi ke dalam bahasa teks wahyu
(Kitab Suci), ketauhidan (Aqidah), ibadah (Fiqh), sejaran kebudayaan dan
peradaban islam (Tarikh), serta moral, etika, budi pekerti (akhlak mulia). Atas
dasar kelima aspek ini Agama Islam itu penting diletakkan dalam visi, misi,
program, implementasi, sarana dan prasarana pendidikan sebagai strategi
pembudayaannya dalam diri serta kelembagaan umat manusia.
Pembudayaan dimaksud meliputi
pengayaan peserta didik dalam susunan pengetahuan secara sempurna (kognitif),
pengasahan dan penguatan sikap setuju, senang, gembira dan teguh pendirian
(afektif), serta bermotivasi kuat mengaktualisasikan diri mengamalkan isi
(esensi) dan inti (substansi) dari kognitif dan afektif dalam perilakunya
(psikomotorik). Kognitif xm setting dan model pembelajaran bisa di lakukan di
dalam kelas berbentuk (intra kurikuler) dan di luas kelas (ekstra kurikuler).
Dilengkapi dengan pelayanan rehabilitasai berupa penyempurnaan kekurangan (remedial learning), pelayanan akselarasi
berupa percepatan pengayaan (enrichment
learning), hingga pengembalian atas deviasi penyimpangan (clinical learning).
Sementara pembudayaan pada
sekolah meliputi penciptaan suasana keagamaan yang menyentuh serta memayungi
atau mengaura seluruh nadi aktivitas manajemen sekolah, kepribadian pendidik
dan tenaga kependidikan, serta ruangan kelas, lingkungan sekolah hingga
masyarakat yang hidup sekitar sekolah (Rusmin
Tumanggor: 2009).
Untuk mencapai maksud tersebut
diperlukan kemauan yang utopis dan ideal serta ikhlas dibarengi kerja keras
dari kepala sekolah, guru mata pelajaran pendidikan agama, guru mata pelajaran
lainnya, guru bimbingan dan penyuluhan,
serta pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua peserta didik, komite
sekolah, dewan pendidikan, pemerhati peduli pendidikan, maupun dunia usaha.
Kemauan dimaksud adalah melakukan proses belajar mengajar Pendidikan Agama
Islam di sekolah dan di luar sekolah di samping tidak menyimpang dari standar
isi, juga melakukan pelbagai terobosan gagasan baru atau inovasi dalam segala
aspek pembalajaran, metode, alat peraga, teknologi pembelajaran sesuai dengan
sumberdaya lingkungan manusia dan alam setempat. Dengan demikian orientasi Mata
Pelajaran Pendidikan Agama Islam pada sekolah, mempunyai perspektif nuansa
kemajuan di bidang penguasaan teks dan isi kitab suci, keimanan, ketaqwaan,
akhlak mulia yang memayungi, memotivasi, penapis, sekaligus mengaktualisasikan
keilmuan, ketrampilan, kewarganegaraan, dan pergaulan sesama muslim, lintas
agama, dan pergaulan dalam masyarakat
internasional. Dengan kata lain
orientasi PAI pada sekolah, mengupayakan Agama Islam jadi centra pencerahan
budaya dan peradaban beragama dan bermasyarakat di sekolah. Substansi visinya
Islam untuk semua (Islam for all). Islam menjadi membumi, milik semua makhluk
khususnya manusia. Berpotensi sebagai modal hidup di dunia dan akhirnya untuk
di alam baqa kelak. Ketercapaian inilah yang dimauai oleh modul ini.
Dilema posisi PAI dan Tujuan
Negara di Indonesia sangat ironis. Mulai dari Piagam Jakarta, Falsafah
Pancasila, UUD tahun 1945 dan Amandemennya, TAP-TAP MPR, UU Tentang Pendidikan,
PP No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan
menekankan Tujuan Negara RI dan Pembangunannya menciptakan manusia Indonesia
seutuhnya; beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, berilmu, berkecakapan,
berkepribadian, berjiwa kewarganegaraan, serta mampu bergaul dengan masyarakat
internasional. Di dimensi lainnya tatkala maraknya pornoaksi dan pornografi di
media massa dan elecktronik, siswa tawuran, pelabelan terorisme atas sejumlah
aksi kekerasan, menjamurnya korupsi di lingkungan eksekutif, judikatif,
legislatif, kerjasama dengan dunia BUMN dan Swasta, Pendidikan Agama dan Guru
Agama menjadi sasaran tembak kritikan tajam dengan tuduhan Pendidikan Agama di
Indonesia gagal. Semua kejadian tadi
dipandang sebagai produk pendidikan agama, karena mata pelajaran Pendidikan
Agama sudah diajarkan di sekolah semenjak Indonesia merdeka. Lebih lanjut dinyatakan kegagalan pendidikan
agama adalah karena terlalu menekankan domain kognitif, kurang sekali
menekankan afektif dan psikomotorik. Guru Agama juga tidak berwibawa memberi
keteladanan kepada peserta didik. Bahkan pernah tahun 2000 bermunculan ide agar
Pendidikan Agama diganti saja dengan Mata Pelajaran Budi Pekerti. Mencermati
regulasi yang ada dan kritikan-kritikan tajam yang dilontarkan tersebut mengesankan
pandangan begitu pentingnya pendidikan agama dalam membentuk karakter bangsa
mewujudkan Manusia Indonesia Seutuhnya.
Pada sisi lain cukup kontradiktif
dengan kenyataan, mata pelajaran pendidikan agama yang begitu besar harapan
terhadapnya (kognitif, afektif, psikomotorik) ternyata hingga sekarang intra
kurikulernya hanya 2 jam per minggu. Sementara ekstra kurikulernya secara umum
belum terapresiasi lewat manajemen sekolah dan kalaupun ada kepala sekolah
dengan guru agama serta guru mata pelajaran lainnya yang mengambil kebijakan
sendiri (kasuistik atau dan tipikal) belum tersistem dalam satu rumus
pembelajaran dan penilaian dengan intra kurikuler secara umum karena belum ada
pedoman secara nasional. Kejanggalan fatal lainnya adalah Mata Pelajaran Pendidikan
Agama tidak ada ujian nasionalnya sebagai satu-satunya Mata Pelajaran yang
harus memayungi semua unsur pembangunan bangsa. Sekalipun sudah ada sedikit
kemajuan semenjak tahun 2008 dan 2009 sudah ada Uji Coba Ujian Sekolah
Berstandar Nasional (USBN) Mata Pelajaran Pendidikan Agama. Namun kalau tidak
berwujud dengan Ujian Standar Nasional untuk seluruh sekolah sejajar dengan
Ujian Nasional Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi yang tidak ada
tuntutan terhadapnya afektif dan kognitif, berarti kegagalan manajemen negara
memposisikan pendidikan agama sebagai dapur masak menciptalkan manusia
Indonesia seutuhnya, yang keberadaan (ontologis) Mata Pelajaran Pendidikan
Agama dalam sistem pendidikan nasional lebih mutlak adanya terimbang mata pelajaran
lainnya.
Atas kenyataan ini, jika mata
pelajaran pendidikan agama benar-benar diinginkan sebagai wadah bagi pencapaian
tujuan negara RI, maka Orientasi Pengembangan Pendidikan Agama pada Sekolah
harus dimulai dengan pencerminan kemauan politik pendidikannya, memberi peluang
bagi penambahan waktu dan jenis kegiatannya (intra dan ekstra kurikuler)
sehingga pendidikan agama menjadi sentra integrasi multikultural, hak asasi
manusia, karaktek bangsa, kependudukan dan lingkungan, gender, dan titipan
muatan lainnya, selain yang fundamental yaitu baca mahir dan faham kitab suci,
ketuhanan / ketauhidan / keimanan / aqidah (teologi), ibadah / ritual / fiqh, memahami sejarah, kebudayaan dan peradaban
agama/ tarikh, dan kehalusan, keserasian, ketepatan dan kepatutan alur pikir,
sikap dan perilaku sesuai situasi dan kondisi dari subjek dan objek (akhlak
mulia), hingga pembangunan keiilmuan tentang langit dan bumi (Ilmu
pengetahuan). Secara rangkai dasar pemikiran (proposisi hipotesis) “Pendidikan Agama yang bersahaja di
eksiskan, dilindungi, dikembangkan, diaurakan kepada ilmu lainnya, tersistem
dalam manajemen sekolah, pelibatan stakeholders, dibiayai, diawasi, di kaji SWOT dan perbaikannya yang
kontinue, akan mewujudkan lembaga, orang tua dan peserta didik yang pancasilais
yakni matang seutuhnya menerima tongkat estavet roh kehidupan bangsa dan negara
ini”. Karena rakyat Indonesia mayoritas beragama Islam yang tercermin dalam
peserta didik di Sekolah SD, SMP, SMA, SMK, tahun 2009 sekitar 40.juta orang
dari ±46 juta peserta didik, maka orientasi pengembangan PAI pada sekolah mesti
menjadi contoh suri teladan yang kharismatik panutan bagi PA lainnya dalam
penyelenggaraan Pendidikan Agama di sekolah masing-masing. Guru PAI bergandeng
tangan dengan kepala sekolah serta guru lainnya, berjuang mendewasakan
keberagamaan (religiusitas) peserta didik serta mengetuk sejuk hati orang
tuanya, menjadi pahlawan suci tanpa bintang jasa yang jauh lebih terhormat
daripada pahlawan yang menyandang bintang jasa duniawi tapi penuh noda nista di
negerinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar